Pengawasan Keuangan Dalam Ekonomi Islam
PENGAWASAN KEUANGAN DALAM EKONOMI ISLAM
PENDAHULUAN
Rasulullah telah meletakkan dasar sistem moneter dengan menjadikan uang sebagai alat penukar yang bersifat umum untuk membenarkan pertukaran barter sejenis (Zaidan 1972: 49). Oleh sebab itu masyarakat Islam telah lama menggunakan uang sebagai media transaksi, berbeda dengan negara-negara di eropa, sisitem ini baru diterapkan di akhir abad pertengahan kehadiran Islam. Buku â€ÂThe Wealth Nation†yang ditulis Adam Smith merupakan salah satu upaya dalam melanjutkan sistem keuangan, juga menjelaskan konsep negara dalam mengatur kehidupan ekonomi, sumber-sumber anggaran negara dan proses alokasi dana bagi kesejahteraan masyarakat.
Diawal tahun 30-an peran negara hanya terbatas pada pengelolaan sumber-sumber anggaran dan proses alokasi dana dalam memenuhi kehidupan pablik, negara tidak mampu menentukan kebijakan ekonomi, ini disebabkan sistem ekonomi yang berkembang menganut prinsip kebebasan individu atau disebut juga dengan aliran kapitalis. Karena kecewa terhadap sistem kapitalis yang gagal mewujudkan nilai kejahteraan terhadap maasyarakat serta diiringi dengan krisis interval perang dunia menyebabkan timbulnya sistem sosisalis, semua hak kepemilikan dimiliki oleh negara, mereka menilai perlunya intervensi pemerintah dalam segala hal untuk mewujudkan sejahteraaan kehidupan ekonomi, namun sistem ini juga gagal dalam mewujudkan tujuan utamanya.
Secara keilmuan kita beriktikad baik terhadap mereka yang sudah berupaya untuk mencipkatan teori baru untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, walaupun kesemua teori tersebut gagal mencapai tujuan utamanya, sehingga menjadi intropeksi bagi ummat Islam, bukankah Islam sudah mengatur dasar-dasar keuangan dan bagaimanakah pengawasan keuangan dalam Islam sehingga Islam mencapai masa keemasannya.
PERKEMBANGAN SISTEM KEUANGAN DALAM ISLAM
Negara Islam terbentuk setelah Rasulullah melakukan hijrah dan menetap di Madinah, perkembangan infrastuktur keuangan Islam seiring dengan perluasan daerah Islam dan perkembangannya. Pada awalnya keuangan negara Islam sangat lemah hal ini dapat dilihat dari situasi peperangan Badr al-Kubra dimana ummat Islam hanya memilki 17 ekor unta dan 2 ekor kuda sedangkan jumlah keseluruhan pasukan tidak lebih dari 350 orang (al-Maqrizi 1941:1:94).
Setelah penaklukan terhadap Bani Nadhir barulah ada nafas baru bagi perekonomian umat Islam. Akan tetapi masih belum mencakupi untuk mencakupi semua kebutuhan umat Islam baik untuk keperluan menjalakan roda pemerintahan atau untuk peperangan. Hasil yang diperolehi dari tanah bani nadhir dan pendapatan yang diperolehi dari waktu kewaktu disimpan pada satu tempat untuk masa tanggap darurat, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari fai, kharaj didistribusikan langsung tanpa disimpan (Hasanuzzaman 1981: 140).
Dari huraian diatas dapat kita pahami bahwasanya sistem keuangan sudah diatur dalam pemerintahan Islam sejak zaman Rasulullah, hal ini dbuktikan dengan adanya tempat menyimpan harta pendapatan negara, walau sebagian harta lainnya ada yang langsung didistribusikan kepada sahabat yang berhak menerimanya.
Namun pembahasan keuangan negara secara sistematis pertama sekali dilakaukan oleh Abu Yusuf dengan judul bukunya al-Kharaj, ini merupakan permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk merumuskan kebijakan keuangan negara, tidak lama kemudian Yahya Ibn Adam menunis sebuah buku yang dinamakan juga dengan al-Kharaj, setelah itu dibahas secara mendalam oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um. Kemudia Abu ’Abid Ibn Salam menyusun materi yang sama dalam sebuah buku yang dinamakan dengan al-Amwal, proses tersebut terjadi pada akhir abad 2 hijriah sampai dengan awal abad 3 hijriah (Rais 1985: 4).
Begitu juga dengan karya-karya lainnya seperti Tarikh ad-Daulah al-Islamiyah oleh imam Tabari, begitu juga dengan karya Ibn Atsir, ada sebagian cendikiawan yang mengkatagorikan karya mereka lebih condong kepada politik dan peperangan, atau identik dengan kajian historis, namun tidak sedikit kita jumpai keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ekonomi, diantara cendikiawan muslim yang telah banyak memberi kontribusi dalam keilmuan ekonomi dan keuangan ialah al-Maqrizi, Ibn Khaldun, Ibn Khardazabah (Rais 1985: 5).
Walaupun demikian isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara perspektif konvensional, bank, saham, asuransi, pengenalan uang kertas di negara-negara Islam telah menyebabkan para fuqaha berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dijawab (Siddiqi 1983: 15).
PENGAWASAN KEUANGAN DALAM ISLAM
Berbicara mengenai pengawasan keuangan dalam Islam tentu tidak terlepas dari institusi keuangan itu sendiri. Dalam masyarakat Islam terdapat beberapa institusi keuangan diantaranya Bayt al-māl (Othman Alhabshi 1989: 109). Adapun tempat penyimpanan uang atau harta dalam Islam dikenal dengan Bayt al-māl. Lembaga ini bertujuan mengumpulkan tabungan-tabungan dan deposito-deposito dan menyediakan dana untuk kepentingan usaha terutama dalam bentuk jangka panjang dan segala bentuk usaha yang produktif (Monzer Kahf 1979: 76).
Dalam ekonomi konvensional Bayt al-māl dapat disamakan dengan lembaga perbankan atau disebut juga dengan bank sentral dikarenakan kesamaan fungsi dan kedudukanya. Yaitu bergerak dibidang jasa dan mempunyai wewenag untuk menciptakan uang melalui pemberian hutang kepada pihak pemerintah, produsen, konsumen atau pengusaha (Iqbal dan Khan 1981: 13).
Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita apakah konsep Bayt al-māl ada pada masa Rasulullah? Atau ia hanya sekedar wacana?
Kalau kita membuka lembaran sejarah Islam, Rasulullah mempunyai tempat untuk menyimpan harta peperangan, dimana Rasululluah pernah menyuruh Mahmiah untuk membayar mas kawin dua orang sahabat dari uang tabungan Khumus. Begitu juga dengan kondisi pengusaha pada waktu itu. pedagang berasal dari berbagai kabilah, mereka mempunyai suatu tempat untuk berkumpul yang terkenal dengan Dar al-Nadwah atau sekarang dikenal dengan index market.
Rasulullah sangat berhati-hati dalam membelanjakan uang negara, karena ia merupakan sebagai amanah sekaligus harta kepunyaan Allah yang harus digunakan dengan cara yang paling baik, hal yang sama juga dilakukan oleh para sahabatnya.
Umar mengatakan tidak seorang muslim yang memiliki Fai kecuali apa yang dimiliki oleh tangan kanannya (menurut hasil usahanya), ini menandakan bahwa harta bayt al-māl tidak boleh diambil sembarangan, Umar telah meletakkan dasar pengawasan terhadap penggunaan harta bayt al-māl dengan beberapa kriteria, sebagaimana berikut ini (Qurtubi 1947 :75):
1. seandainya ia dapat diterima secara benar
2. seandainya ia dapat diberi secara benar
3. seandainya ia dapat dijaga dari kesalahan
Menjaga harta bayt al-māl seperti menjaga harta anak yatim. Sebagai mana dikatakan umar seandainya aku orang kaya aku tidak menggunakannya satu rupiahpun, seandainya aku miskin akan ku pakai sepatutnya saja atau dengan cara yang tepat, setiap yang ada padamu itu berharga bagiku, setiap orang muslim berhak atas harta bayt al-māl, harta itu semuanya berharga bagi aku dan tidak akan disiasiakan (Abu Ubayd 1935 : 663).
Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah yang bertugas sebagai pengutip zakat menginvestasi harta pribadinya dalam bentuk perniagaan serta mengambil uang zakat untuk menambah investasinya, ia didakwa oleh Umar telah mencuri harta Allah (Allah’s Wealth).
Ali juga meletakkan beberapa landasan mengenai penggunaan dan pengawasan harta bayt al-māl melalui dua cara (Abu Ubayd 1935 :665):
1. Harta bayt al-māl dipakai hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok ia dan keluarganya saja.
2. Kemudian ia mengumumkan kepada rakyak harta yang telah dipakai.
Dari huraian diatas dapat kita ketahui betapa penting penggunaan harta bayt al-māl. Sehingga para Sahabat Rasul betul-betul menunjukkan akuntabilitas dan tranfaransi mereka dalam menggunakan dana ummat (Muslims’ wealth). Selain itu dapat juga kita lihat moralitas tinggi yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan, hal ini tercermin dari tingkahlaku mereka dalam menghimpun dan mengalokasikan dana ummat.
Yang menjadi pertanyaan kita sejauh mana kewenangan masyarakat dalam mengawasi keuangan negara?
Pengawasan keuangan merupakan tanggung jawab semua masyarkat, namun tanggung jawab ini menjadi amanah bagi masyarakat yang memahami dibidang tersebut, hal ini ditunjukkan oleh Abu Saudak dan Abū-Dhar Al-Ghifārĩ sebagai Ulama terkemuka. Sewaktu Muawiyyah menjabat sebagai gubernur Syiria di bawah Khalifah Utsman, mengatakan harta bayt al-māl itu milik Allah, dan ummat Islam tidak berhak menikmatinya. Maka Abu Saudak mengajak Abū-Dhar Al-Ghifārĩ untuk menentang Muawiyyah, setelah dikritik oleh Abū-Dhar Al-Ghifārĩ beliau baru merobah memanggilnya dengan harta yang berhak dimiliki oleh ummat Islam (Tabari 1893 :1:2859)
Hal yang sama ditunjukkan oleh Ibn Umar sewaktu dipanggil oleh Muawiyah untuk diminta pendapatnya mengenai pembangunan yang di laksanakan oleh Muawiyah di Damaskus (Syiria), lalu Ibn Umar berpendapat: “Jika kamu membangunnya dengan menggunakan harta Allah, maka kamu telah melakukan suatu pelanggaran atas kepercayaan, bahkan jika ia merupakan uang pribadimu maka kamu tergolong pemborosâ€Â(al-Yaqubi 1964: 2:221).
Disini Ibn Umar tidak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah yang melakukan pembangunan infrastruktur di Dimaskus, kalau kita melihat dalam literatur ekonomi Islam ada beberapa kemungkinan kritikan Ibn Umar ini pertama alokasi belanja negara untuk pembangunan infrastruktur di Dimaskus tidak begitu penting, disebabkan masih banyak kebutuhan pokok masyarakat yang belum terpenuhi. Prioritas utama dalam pembangunan menurut ekonomi Islam bukan sekedar pembangunan fisik tetapi mencakupi pembangunan spiritual dan fisik, apalagi pembangunan fisik yang hanya terfokus di perkotaan sedangkan di pedesaan tidak tersentuh sama sekali.
Begitu juga dengan Abdul Malik mengkritik Abdullah Bin Zubair kerana ia tidak bijaksana dalam mengalokasikan keuangan negara, yang merupakan harta milik Allah, seolah-olah ia membelanjakan harta warisan orang tuanya (al-Baladhuri 1932 :414).
Adapun upaya untuk menjaga terjadinya penyelewengan dan menjustifikasikannya dengan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam penggunaan harta negara. Harta negara bukan milik penguasa, maka tidak tepat jika kita menjumpai penguasa (pemerintah) yang kaya sedangkan rakyatnya miskin, bukan berarti Islam menolak kekayaan, akan tetapi pemilik harta sebenarnya adalah kepunyaan Allah, kita dapat melihat kisah Umar sewaktu memakai pakaian yang tidak pernah dilihat oleh rakyatnya dan beliau langsung ditanyanya min aina laka hazha? (darimana kamu perolehinya?)
Ini menandakan peta kekayaan ummat Islam sudah sudah bisa dibaca oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi prasangka buruk terhadap kekayaan individu apalagi bagi mereka yang mempunyai kekuasaan. Namun hal seperti ini tidak pernah kita dapati dalam kehidupan kita selama ini. Sehingga ada sebuah asumsi golongan atas tidak akan pernah tersentuh sedangkan golongan bawah sering tertindas yang dapat mengakibatkan jurang pemisah antara dua golongan dan timbulnya penyakit kesenjangan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar